http://ucjkqb53ncm5pqbtss3hbsgw.com http://ucjkqb53ncm5pqbtss3hbsgw.com PENJELASAN MENGENAI HADITS DHO'IF | DESAIN RUMAH NYAMAN DAN INDAH

PENJELASAN MENGENAI HADITS DHO'IF


BAB I
PENDAHULUAN

A.      LATAR BELAKANG

Al-Qur’an sebagai sumber hukum Islam yang pokok banyak mengandung ayat-ayat yang bersifat global. Oleh karena itu kehadiran hadits berfungsi sebagi penjelas dari ayat ayat tersebut. Tanpa kehadiran hadits umat islam tidak akan mampu menangkap dan merealisasikan hukum-hukum yang terkandung di dalam Al Quran secara mendalam.
Hadits mempunyai fungsi dan kedudukan begitu besar namun hadits tidak seperti Al-Qur’an yang secara resmi telah di tulis pada zaman Nabi dan dibukukan pada masa khalifah Abu Bakar As Shidiq. Sedangkan hadits baru ditulis dan dibukukan pada masa khalifah Umar Ibn Abd Al Azizi (abad ke-2).[1]
Dengan seiring perkembangan zaman banyak sekali hadits-hadits yang muncul. Sehingga kita perlu mempelajari ilmu tentang hadits dan pembagian hadits. Diketahui bahwa macam-macam hadits yaitu shahih, hasan dan dho’if. Pada makalah ini akan dibahas tentang hadits dhoif.

B.       RUMUSAN MASALAH
Dari pembahasan materi tentang hadits dhoif ini, ada beberapa rumusan masalah yang harus diselesaikan diantaranya:
1.      Apa itu hadits dhoif?
2.      Apa saja contoh hadis dhaif ?
3.      Apa saja macam-macam hadits dhoif?





BAB II
PEMBAHASAN

A.  PENGERTIAN HADITS DHO’IF

Secara etimologi, kata dho’if berasal dari bahasa Arab dhuf’un yang berarti lemah, lawan kata dari al qowiy yang berarti kuat. Dengan makna bahasa ini, maka yang dimaksud dengan dho’if dari segi bahasa berarti hadits yang lemah atau tidak kuat.[2]
Secara terminologi, terdapat perbedaan rumusan di antara para ulama dalam mendefinisikan hadits dho’if ini. Tetapi, pada dasarnya, isi dan maksudnya adalah sama. Beberapa definisi, di antaranya dapat dilihat di bawah ini.
An-Nawawi mendefinisikannya dengan :  
مَالَمْ الحَسَنِ يُوْجَدُ فِيْهِ شُرُوْطُ الصِّحَّةِ وَلَا شُرُوْطُ
Artinya :
“Hadits yang didalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadits shahih dan syarat-syarat hadits hasan.”

Ulama lainnya menyebutkan bahwa hadits dho’if ialah :
القَبُوْلِ صِفَاتُ فِيْهِ يَجْتَمِعْ لَمْ كُلُ حَدِيْثٍ
Artinya :
“Hadits yang didalamnya tidak terkumpul sifat-sifat maqbul.”
Sedangkan yang dimaksud Hadits Maqbul di sini adalah hadits yang diterima, yaitu sempurna padanya syarat-syarat diterimanya.[3]

Menurut Nur Ad-Din ‘Atr definisi hadits dhoif ialah :
مَا فَقِدَ شَرْطًا مِنْ شُرُوْطِ الْحَدِيْثِ المَقْبُوْلِ
Artinya :
“Hadits yang hilang salah satu syaratnya dari syarat-syarat hadits maqbul (hadits yang shahih atau hadits yang hasan).”
Pada definisi yang ketiga disebutkan secara tegas bahwa jika satu syarat saja (dari persyaratan hadits shahih atau hadits hasan hilang, berarti hadits itu dinyatakan sebagai hadits dho’if. Lebih-lebih jika yang hilang itu sampai dua atau tiga syarat, seperti perawinya tidak adil, dan adanya kejanggalan dalam matan. Hadits seperti ini dapat dinyatakan sebagai hadits dho’if yang sangat lemah.[4]
Selain itu, Ibnu Shalah memberikan definisi hadits dho’if ialah :
ما لم يجمع صفات الصحيح ولاصفات الحسن
 “Yang tidak terkumpul sifat-sifat shahih dan sifat-sifat hasan”.

Zinuddin Al-Traqy menanggapi bahwa definisi tersebut kelebihan kalimat yang seharusnya dihindarkan, menurut dia cukup :
ما لم يجمع صفات الحسن
 “Yang tidak terkumpul sifat-sifat hadits hasan”
Karena sesuatu yang tidak memenuhi syarat-syarat hadits hasan sudah barang tentu tidak memenuhi syarat-syarat hadits shahih.
Drs. Fatkhur Rahman memberikan definisi hadits dho’if ialah:
ما فقد شرطا او اكثر من شروط الصحيح اوالحس
 “Hadits yang kehilangan satu syarat atau lebih dari syarat –syarat hadits shahih atau hadits hasan”
Para ulama memberikan batasan bagi hadits dha’if :
الحديث الضعيف هو الحديث الذي لم يجمع صفات الحديث الصحيح ولا صفات الحديث
“Hadits dha’if adalah hadits yang tidak menghimpun sifat-sifat hadits shahih dan juga tidak menghimpun sifat-sifat hadits hasan”.
DR. Subhi As-Shalih, mengatakan hadits dha’if menempati urutan ketiga dalam pembagian hadits. Batasannya yang paling tepat adalah hadits yang padanya tidak terdapat ciri-ciri hadits shahih atau hasan.
Berdasarkan definisi rumusan di atas, dapat kita pahami bahwa hadits yang kehilangan salah satu syarat dari syarat-syarat hadits shahih atau hasan, maka hadits tersebut dapat kita kategorikan sebagai hadits dho’if.4


B.  CONTOH HADITS DHO’IF

Hadits-hadits lemah (dhoif) yang tersebar di kalangan kaum muslimin banyak sekali, namun mereka tak sadar bahwa hadits-hadits dhoif bukanlah berasal dari Rasulullah. Oleh karena itu, kita tidak boleh ber-hujjah dan beramal dengan hadits dhoif tersebut.

Tuntutlah Ilmu Sampai ke Negeri Cina
Hadits dhoif (lemah), apalagi palsu, tidak boleh dijadikan dalil dan hujjah dalam menetapkan suatu aqidah dan hukum syar’i di dalam Islam. Demikian pula, tidak boleh diyakini hadits tersebut sebagai sabda Nabi SAW. Di antara hadits-hadits dhoif (lemah) yang masyhur digunakan oleh para khatib dan da’i dalam mendorong manusia untuk menuntut ilmu di mana pun tempatnya sekalipun jauhnya sampai ke Negeri Tirai Bambu, Cina, adalah hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik ra. dari Nabi SAW, beliau bersabda,

اطلبوا العلم ولو بالصين

Tuntutlah ilmu, walaupun di negeri Cina”.
[HR. Ibnu Addi dalam Al-Kamil (207/2), Abu Nu’aim dalam Akhbar Ashbihan (2/106), Al-Khathib dalam Tarikh Baghdad (9/364), Al-Baihaqiy dalam Al-Madkhol (241/324), Ibnu Abdil Barr dalam Al-Jami’ (1/7-8), dan lainnya, semuanya dari jalur Al-Hasan bin ‘Athiyah, ia berkata, Abu ‘Atikah Thorif bin Sulaiman telah menceritakan kami dari Anas secara marfu’]
Ini adalah hadits dhaif jiddan (lemah sekali), bahkan sebagian ahli hadits menghukuminya sebagai hadits batil, tidak ada asalnya. Ibnul Jauziy –rahimahullah- berkata dalam Al-Maudhu’at (1/215) berkata, ‘’Ibnu Hibban berkata, hadits ini batil, tidak ada asalnya’’. Oleh karena ini, Syaikh Al-Albaniy –rahimahullah- menilai hadits ini sebagai hadits batil dan lemah dalam Adh-Dhaifah (416).
As-Suyuthiy dalam Al-La’ali’ Al-Mashnu’ah (1/193) menyebutkan dua jalur lain bagi hadits ini, barangkali bisa menguatkan hadits di atas. Ternyata, kedua jalur tersebut sama nasibnya dengan hadits di atas, bahkan lebih parah. Jalur yang pertama, terdapat seorang rawi pendusta, yaitu Ya’qub bin Ishaq Al-Asqalaniy. Jalur yang kedua, terdapat rawi yang suka memalsukan hadits, yaitu Al-Juwaibariy. Ringkasnya, hadits ini batil, tidak boleh diamalkan, dijadikan hujjah, dan diyakini sebagai sabda Nabi SAW .
                        
Tuntutlah Duniamu

اِعْمَلْ لِدُنْيَاكَ كَأَنَّكَ تَعِيْشُ أَبَدًا, وَاعْمَلْ لِآخِرَتِكَ كَأَنَّكَ تَمُوْتُ غَدًا

Beramallah untuk duniamu seakan-akan engkau hidup akan selamanya dan beramallah untuk akhiratmu seakan-akan engkau akan mati besok”.
Ini bukanlah sabda Nabi SAW, walaupun masyhur di lisan kebanyakan mubaligh di zaman ini. Mereka menyangka bahwa ini adalah sabda beliau. Sangkaan seperti ini tidaklah muncul dari mereka, kecuali karena kebodohan mereka tentang hadits. Di samping itu, mereka hanya “mencuri dengar” dari kebanyakan manusia, tanpa melihat sisi keabsahannya.
Hadits ini diriwayatkan dua sahabat. Namun, kedua hadits tersebut lemah karena di dalamnya terdapat inqitho’ (keterputusan) antara rawi dari sahabat dengan sahabat Abdullah bin Amer. Satunya lagi, cuma disebutkan oleh Al-Qurthubiy, tanpa sanad. Oleh karena itu, Syaikh Al-Albaniy men-dhoif-kan (melemahkan) hadits ini dalam Silsilah Al-Ahadits Adh-Dho’ifah (No. 8).

Surat Yasin Hatinya Al-Qur’an
Banyak hadits-hadits yang tersebar di kalangan masyarakat menjelaskan keutamaan-keutamaan sebagian surat-surat Al-Qur’an. Namun sayangnya, banyak di antara hadits itu yang lemah, bahkan palsu. Maka cobalah perhatikan hadits berikut:

إن لكل شيء قلبا, وإن قلب القرآن (يس) , من قرأها فكأنما قرأ القرآن عشر مرات

Sesungguhnya segala sesuatu memiliki hati, sedang hatinya Al-Qur’an adalah Surat Yasin. Barang siapa yang membacanya, maka seakan-akan ia telah membaca Al-Qua’an sebanyak 10 kali“.
[HR. At-Tirmidziy dalam As-Sunan (4/46), dan Ad-Darimiy dalam Sunan-nya (2/456)]
Hadits ini adalah hadits maudhu’ (palsu), karena dalam sanadnya terdapat dua rawi hadits yang tertuduh dusta, yaitu: Harun Abu Muhammad dan Muqotil bin Sulaiman. Karenanya, Ahli hadits zaman ini, yaitu Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albaniy -rahimahullah- menggolongkannya sebagai hadits palsu dalam kitabnya As-Silsilah Adh-Dho’ifah (No.169).

Perselisihan Umatku adalah Rahmat
Sudah menjadi takdir Allah -Azza wa Jalla-, adanya perpecahan di dalam Islam dan memang hal tersebut telah disampaikan oleh Rasulullah SAW. Di negara kita sendiri, sekte-sekte dan aliran sesat yang menyandarkan diri kepada Islam sudah terlalu banyak. Apabila kita memperingatkan dan membantah kesesatan aliran-aliran tersebut, maka sebagian kaum muslimin membela aliran-aliran tersebut. Mereka berdalil dengan hadits berikut,
إِخْتِلَافُ أُمَّتِيْ رَحْمَةٌ
Padahal hadits ini dhoif (lemah), bahkan tidak ditemukan dalam kitab-kitab hadits. Syaikh Al-Albaniy -rahimahullah- berkata, “Hadits ini tak ada asalnya. Para ahli hadits telah mengerahkan tenaga untuk mendapatkan sanadnya, namun tak mampu”.[5]
Dari segi makna, hadits ini juga batil. Ibnu Hazm -rahimahullah- dalam Al-Ihkam (5/64) berkata, “Ini merupakan ucapan yang paling batil, karena andaikan ikhtilaf (perselisihan) itu rahmat, maka kesepakatan adalah kemurkaan. Karena di sana tak ada sesuatu kecuali kesepakatan dan perselisihan; tak ada sesuatu kecuali rahmat atau kemurkaan“.










C.  MACAM – MACAM HADITS DHO’IF

Berdasarkan penelitian para ulama hadits, bahwa kedho’ifan suatu hadits bisa terjadi pada tiga tempat, yaitu pada sanad, matan dan pada perowi hadits. Dari bagi ketiga ini, lalu mereka membagi hadits ke dalam beberapa macam hadits dho’if.
  1. Dho’if ditinjau dari segi persambungan sanad.
Hadits yang tergolong dalam kelompok ini, diantaranya:
a.    Hadits Mursal
Hadits mursal adalah hadits yang disandarkan langsung oleh tabi’in pada Rosulullah SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun taqrirnya, tabi’in yang di maksud bisa tabi’in kecil ataupun besar.
Pada dasarnya hukum hadits mursal adalah dho’if dan ditolak. Hal tersebut karena kurangnya (hilangnya) salah satu syarat ke-shahih-an dan syarat diterimanya suatu hadits, yaitu persambungan sanad. Selain itu juga tidak dikenalnya tentang keadaan perawi yang dihilangkan tersebut, sebab boleh jadi perawi yyang dihilangkan tersebut adalah bukan sahabat. Dengan adanya kemungkinan demikian, maka ada kemungkinan hadits tersebut adalah dho’if.
b.    Hadits Munqothi’
Hadits munqothi’ adalah hadits yang gugur pada sanadnya seorang perawi atau pada sanad tersebutkan seseorang yang tidak dikenal namanya. Tetapi kebanyakan ulama hadits menggunakan istilah Munqothi’ secara umum, meliputi setiap hadits yang terputus sanadnya seperti hadits mursal, mu’dhal, dan mu’allaq.
c.    Hadits Mu’dhal
Hadits mu’dhal adalah hadits yang gugur dua orang sanadnya atau lebih secara berturut-turut. Dengan pengertian diatas, menunjukkan bahwa hadits mu’dhal berbeda dengan hadits munqothi’. Pada hadits mu’dhal, gugurnya dua orang perawi terjadi secara berturut-turut. Sedangkan pada hadits munqothi’, gugurnya dua orang perawi, terjadi secara terpisah ( tidak berturut-turut).[6]
d.    Hadits Mu’allaq
Hadits mu’allaq adalah hadits yang dihapus dari awal sanadnya seorang perawi atau lebih secara berturut-turut.
Hadits mu’allaq hukumnya adalah mardud (tertolak), karena tidak terpenuhinya salah satu syarat qabul, yaitu persambungan sanad, yang dalam hal ini adalah dihapuskannya satu orang perawi atau lebih dari sanadnya, sementara keadaan perawi yang di hapuskan tersebut tidak diketahui.
e.    Hadits mudallas
Kata “Mudallas” secara etimologi diambil dari kata “dals” yang berarti “bercampurnya gelap dan terang”, dan kata itu digunakan untuk menyebut sebuah hadits yang didalmnya mengandung unsur-unsur kesamaan dengan unsur-unsur yang dikandung oleh makna kata tersebut. Sedang pengertian hadits mudallas menurut terminologi ialah hadits yang disamarkan oleh rawi dengan berbagai macam penyamaran.
Hadits mudallas ada dua macam yaitu:
-          Tadlisu Al Sanad
Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi dari orang yang satu masa dengannya, namun disebutkan seolah-olah dia benar-benar mendengar darinya, agar hadits tersebut dipandang baik.
-          Tadlisu Al Syuyuukhi
Yaitu meriwayatkan hadits yang didengarnya dari seorang guru, namun dia menyebut nama gurunya itu dengan menggunakan sebutan yang tidak populer misalnya dengan menggunakan nama kuniahnya, nisbatnya atau sifatnya dengan pertimbangan agar tidak di ketahui dengan jelas identitas gurunya yang lemah, sehingga tertutupi kelemahannya.[7]

2.      Dho’if ditinjau dari segi cacatnya perawi.
Yang dimaksud dengan cacat pada perawi adalah terdapatnya kekurangan atau cacat pada diri perawi, baik dari segi keadilannya, agama, atau dari segi ingatan, hafalan, dan ketelitiannya.
Cacat yang berhubungan dengan keadilan perawi diantaranya adalah berbohong, dituduh berbohong, fasik, berbuat bid’ah dan tidak diketahui keadaanya.
Cacat yang berhubungan dengan ingatan dan hafalan adalah sangat keliru/ sangat dalam kesalahannya, buruk hafalannya, lalai, banyak prasangka dan menyalahi perawi yang tsiqah.
Macam-macam hadits dho’if berdasarkan cacat yang dimiliki oleh perawinya  yaitu :
a.       Hadits Matruk
Hadits Matruk adalah hadits yang perawinya mempunyai cacat tertuduh dusta, pembohong atau pendusta.
b.      Hadits Munkar
Hadits munkar adalah hadits yang terdapat pada sanadnya seorang perawi yang sangat keliru, atau sering kali lalai dan terlihat kefasikannya secara nyata.
c.       Hadits Mu’allal
Hadits Mu’allal adalah hadits yang perawinya cacat karena al-wahm, yaitu banyaknya dugaan atau sangkaan yang tidak mempunyai landasan yang kuat.
d.      Hadits Mudroj
Hadits mudroj adalah hadits yang terdapat tambahan yang bukan dari hadits tersebut.
e.       Hadits Maqlub
Hadits maqlub adalah hadits yang mengganti suatu lafadz dengan lafadz yang lain pada sanad hadits atau pada matannya dengan cara mendahulukan atau mengakhirkannya.
f.        Hadits Mudhorib
Hadits mudhorib adalah hadits yang diriwayatkan dalam beberapa bentuk yang berlawanan yang masing-masing sama-sama kuat.
g.      Hadits Mushoffaf
Hadits mushoffaf adalah  mengubah kalimat yang terdapat pada suatu hadits menjadi kalimat yang tidak diriwayatkan oleh para perawi yang tsiqoh, baik secara lafadz maupun maknanya.[8]
h.      Hadits Syadz
Hadits syadz adalah hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang maqbul, namun bertentangan dengan riwayat perawi yang lebih tsiqat atau yang lebih baik dari padanya.
BAB III
PENUTUP
A.      KESIMPULAN
Setelah memahami, membuat dan mempelajari makalah ini maka penyusun dapat menyimpulkan:
1.      Secara etimologi, kata dho’if berasal dari bahasa Arab dhuf’un yang berarti lemah, dan yang dimaksud hadits dho’if dari segi bahasa berarti hadits yang lemah atau tidak kuat. Secara terminologi, di antara para ulama terdapat perbedaan rumusan dalam mendefinisikan hadits dho’if ini. Akan tetapi, pada dasarnya, isi dan maksudnya adalah sama yaitu hadits yang hilang salah satu syaratnya dari syarat-syarat hadits maqbul.
2.      Kedudukan hadits dho’if dalam hukum islam yaitu berada setelah hadits shahih dan hadits  hasan.
3.      Terdapat 3 madzhab pendapat para ulama mengenai pengamalan hadits dho’if, yaitu :
a.       Mazhab Pertama mengatakan bahwa hadits dho’if boleh diamalkan secara mutlak, baik dalam masalah halal, haram, fardh maupun wajib dengan syarat tidak ditemukan hadits lain dalam bab tersebut.
b.      Mazhab kedua mengatakan mempergunakan hadits yang dho’if untuk fadha ‘ilul a’mal, baik untuk yang bersifat targhib maupun yang bersifat tarhib, yaitu sepanjang hadits tersebut belum sampai ke derajat maudhu (palsu). Imam An-Nawawi memperingatkan bahwa diperbolehkannya hal tersebut bukan untuk menetapkan hukum, melainkan hanya untuk menerangkan keutamaan amal, yang hukumnya telah ditetapkan oleh hadits shahih, setidak-tidaknya hadits hasan.
c.       Mazhab ketiga mengatakan bahwa mengamalkan hadits dho’if adalah tidak boleh secara mutlak, baik dalam masalah fadhail amal maupun halal dan haram.
4.      Berdasarkan ke-dho’if-an suatu hadits, maka hadits dho’if terbagi atas :
a.       Dho’if ditinjau dari segi persambungan sanadnya : Hadits Mursal, Hadits Munqothi, Hadits Mu’dhal, Hadits Mu’allaq, Hadits Mudallas
b.      Dho’if ditinjau dari segi cacatnya perawi : Hadits Matruk, Hadits Munkar, Hadits Mu’allal, Hadits Mudroj, Hadits Maqlub, Hadits Mudhorib, Hadits Mushoffaf, dan Hadits Syadz.

B.       SARAN
Saran yang dapat kami berikan terkait pembahasan Hadots Dho’if ini adalah :
1.      Bagi pembaca diharapkan dapat membedakan hadits dho’if dengan hadits lainnya.
2.      Untuk lebih memahami mengenai hadits dho’if, diharapkan pembaca dapat mencari lebih banyak lagi informasi dari berbagai sumber.






















DAFTAR PUSTAKA

Suparto, Munzier; 2003; Ilmu  Hadits; PT RajaGrafindo Persada;  Jakarta.
Ichwan , Mohammad Nor; 2007; Study Ilmu Hadits; Rasail Media Group; Semarang.
Ash Shiddieqy, M. Hasbi; 1987; Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadits Jilid 1; PT Bulan Bintang; Jakarta.
Mudasir; 1999; Ilmu Hadits; Pustaka Setia; Bandung.
Al Maliki , Muhammad Alawi; 2009; Ilmu Ushul Hadis; Pustaka Pelajar; Yogyakarta.




[1] Munzier  Suparto, Ilmu  Hadis, ( Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,2003) hlm 175
[2] Mohammad Nor Ichwan, Study Ilmu Hadits, (Semarang: Rasail Media Group, 2007), hlm 133
[3] M. Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadits Jilid 1, (Jakarta : PT Bulan Bintang, 1987), hlm 220
[4] Drs.H.Mudasir, Ilmu Hadits, (Bandung:Pustaka Setia, 1999), hlm 156-157
[5] http://nugraha-corporation.blogspot.co.id/2011/06/beberapa-hadits-hadits-dhoif-yang.html
 6  Munzier  Suparto, Ilmu  Hadis, ( Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,2003) hal 157
[7]  Muhammad Alawi Al Maliki,  Ilmu Ushul Hadis (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hal 95-98
[8] Mohammad Nor Ichwan, Study Ilmu Hadits, (Semarang: Rasail Media Group, 2007), hlm 133-146

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "PENJELASAN MENGENAI HADITS DHO'IF "

Post a Comment